Hujan lagi-lagi mengguyur kota
kecil yang sudah aku tempati selama hidupku. Hujan ini juga menjadi penyebab
kemarahannya hari ini.
Randi Rahardian. Kekasih yang
mengisi hatiku selama dua tahun.
“Kamu kalau aku bilang selalu aja
ngebantah!” Ia mengeluarkan mantel hujan dari motornya.
“Bukan begitu Ran,” Aku mencoba
membela diri, “Aku kangen jalan berdua sama kamu pakai motor.”
“Apa bedanya dengan mobil?” Ia
masih ngotot ingin menyalahkan aku.
Aku menarik nafas panjang. Harus
sabar memang jika berpacaran dengan cowok yang tidak peka sama sekali seperti
dirinya.
“Bedanya...” Aku tersenyum nakal,
“Aku bisa peluk kamu dari belakang.”
Ia tidak menggubrisnya.
Sial, pikirku. Aku sudah
menurunkan sedikit harga diriku, tapi senyum pun tidak ia berikan sebagai
bayarannya.
“Eh Ran, makan mie aceh yuk!”
Dia diam mematung. Masih menatap
hujan yang turun dari langit, seakan hujan itu akan berhenti dengan tatapan
dinginnya.
“Ayuklah Ran. Kan dingin-dingin
gini enak makan yang panas-panas.” Bujukku lagi.
Dia masih diam. Tapi kali ini
sambil memandangiku. Dalam hati aku berdoa dia mau mengangguk. Jujur aja melihat
muka masam dia benar-benar gak enak.
Yes!
Dia mengangguk. Tetap dengan
wajah masam.
***
Kami masuk ke kedai kecil tidak
jauh dari tempat kami berteduh. Dengan baju basah kuyup berhasil menarik
perhatian separuh pengunjung kedai itu.
Tanpa bertanya padaku, ia memilih
tempat duduk di kedua dari jalan masuk. Bukan pilihan tepat, karena tepat di
atas kepala kami ada kipas angin yang berputar dengan kecepatan medium.
Ia menarik kursi untuk dirinya
sendiri, terpaksa aku menarik kursi sendiri di depannya.
“Jangan marah lagi dong, Ran.”
“Buat apa sih kamu ngajak aku
makan di tempat ramai kayak gini. Lihat.. “ Randi menujuk sekelilingnya,
“Orang-orang mandangin kita.”
“Itu cuma perasaan kamu aja Ran.”
“Kamu selalu meremehkan suatu
masalah.”
Aku ingin membalas, tapi keburu
disela oleh sang pemilik kedai.
“Pesan apa mbak?”
“Mie acehnya dua, sama teh
hangatnya ya Pak.”
“Siapa bilang aku mau pesan mie
aceh?” Randi mulai sifat kekanakannya. Disaat yang tidak tepat pula.
“Lho kan kita kesini mau makan
mie aceh.”
“Itu kamu. Aku kesini mau
berteduh.”
Aku menendang kaki Randi keras.
Tidak sopan bicara seperti itu di depan pemilik kedai. Untungnya sang bapak tersenyum,
membuat perasaanku lega.
“Kalau gitu satu aja ya, Pak.”
“Udah aku duga, emang kamu yang
pengen makan.”
Pelipisku berdenyut mendengar
ucapan Randi.
“Ada lagi mba?”
“Pesanan saya dibuat pedas, pak.”
Ucapku dingin.
***
Sepiring mie aceh, segelas teh
hangat, sepiring kecil kerupuk melinjo dan jeruk nipis terhidang cantik
dihadapannku. Aku tersenyum kecil pada anak laki-laki yang kutaksir usianya 18
tahun.
“Silahkan menikmati, Kak.”
Ucapnya ramah, membuat aku tersenyum lebar kepadanya.
Setelah ia pergi, aku membawa
lebih dekat makanan itu ke arahku. Aroma rempah-rempah serta pedasnya cabe
kering tercium di hidungku. Asap yang mengepul mengeluarkan aroma seafood mampu membuat aku meneteskan air
liur.
Aku mengambil potongan jeruk
nipis. Belum sempat lagi kuperas, ekor mataku menangkap aura jahat di
hadapannku. Siapa lagi kalau bukan Randi. Entah apa alasannya lagi kali ini
menatapku dengan pandangan sinis itu.
“Ternyata kamu pengen makan
disini karena ada cowok cakepnya.”
Aku terperanjat mendengar omongan
yang sama sekali tidak kumengerti arahnya kemana.
“Gak usah pasang muka sok polos
gitu,” Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai dan melipat tangannya.
“Aku lihat kamu senyum-senyum sama berondong barusan.”
“Ya Tuhan, Ran.” Aku meletakan kembali
jeruk nipis yang kugenggam, “Pikiran kamu selalu negatif tentang aku. Apa
salahnya aku senyum sama dia, toh dia juga udah ramah tadi.”
Ia diam.
Aku mengambil kesempatan itu
untuk lanjut makan mie aceh, pesananku. Sebelum keburu dingin.
Kutuang acar bawang di atas mie
dan aku mengaduknya terlebih dahulu.
“Aku tahu kamu memang punya
maksud saat ngajak aku kesini.” Ia memulai.
Aku tidak mengubrisnya.
Aku mencicipi mie acehku dan
kurasakan masih ada yang kurang. Jeruk nipis. Ya aku lupa belum memerasnya
tadi.
“Hujan-hujanan kayak gini bikin
mood jelek ...”
Aku memeras jeruk nipis dan
kuaduk merata dalam mie aceh.
“Semoga aja besok aku tidak
sakit. Entah sampai kapan baju basah ini bakal nempel dibadan.”
Sedap.
Aku suka sekali sensasi mie aceh
yang pedas ketika ditambah jeruk nipis. Menggigit di lidah.
“Padahal sebelumnya udah aku
peringatkan kalau cuaca mendung, tapi kamu tetap aja ngotot naik motor.”
Aku memainkan sendok dan garpu di
atas piring. Bunyi klentang klenting menjadi temanku saat suara Randi seperti
bor yang ingin menusuk telingaku. Aku memutuskan menyantapnya sebelum panasnya
hilang. Mie aceh itu paling sedap kalau panas-panas, ditambah rasa pedas, dan
jeruk nipis, ah seperti mimpi disiang hari yang indah.
Kenyang.
Aku mengakhiri dengan
menyilangkan sendok dan garpu di atas piring. Meminum teh yang masih tersisa
hangatnya dan menyandarkan diri di kursi.
“Udah siap makannya?”
Aku masih diam. Rasa pedas mie
aceh masih tersisa di sekitar bibirku.
“Kenapa kamu cuekin ketika aku
ngomong?”
Sabarku ada batasnya. Tiga puluh
menit sejak kami masuk ke kedai, dan yang kudengar hanyalah omelannya membuat
aku pitam juga.
“Dengar ya, Ran!” Aku duduk
posisi tegak dan memandang manik matanya yang hitam legam seperti arang,
“Daritadi kita disini, aku hanya dengar sindiran kamu dan kemarahan kamu yang
tidak beralasan.”
“Gak beralasan kata kamu?” Nada
suaranya meninggi, “Aku curiga kalau kamu memang udah incar makan disini supaya
bisa ketemu berondong itu.”
“STOP RANDI!” Aku menggebrak
meja. Ia keterlaluan, benar-benar keterlaluan. Aku menarik nafas panjang
sebelum mengatakan, “Mulai detik ini, kita putus.”
Aku ambil dompetku dan membayar
pesananku. Anak yang mengantarkan pesananku itu, menatap bergantian antara aku
dan Randi.
Aku berdiri mematung di luar
kedai, hujan masih terlalu deras untuk aku pulang. Tapi aku sudah memutuskan,
aku sudah siap berpisah dari Randi. Dan aku juga siap ketika melangkah dalam
hujan dan menerima rinai hujan kejam yang menusuk kulitku serta kuharap mampu
menghapus kenangan aku dan Randi.
Tapi satu hal, hujan tidak akan
mampu menghapus rasa Mie Aceh kesukaanku. Karena rasa pedas itulah yang membuat
aku berani mengambil keputusan yang selama ini selalu aku pendam dalam hati.
Rasa pedas yang nikmat sekaligus
mematikan.
Sama seperti Randi. Kata-kata
pedasnya selalu mematikan, tapi entah kenapa aku mampu bertahan selama dua
tahun bersamanya.
Dua tahun yang sia-sia ...
***
END
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu ketika berkunjung